Wednesday, November 17, 2010

Kurban

Hari ini semuanya bahagia, menunjukan wajah yang cerita, dan rasa ingin berbagi satu dengan yang lain pun bercampuran. Beberapa ekor kambing, dan sapi harus merelakan dirinya untuk menjalankan ajaran agama. Daging pun dibagi-bagikan. Tidak, kali ini bukan untuk dijual, semuanya dibagikan secara merata tanpa harus mengeluarkan duit.

Dari tahun ketahun, jumlah kambing atau lembu yang dikurbankan pun semakin banyak. Orang-orang mulai merasa mereka perlu mengeluarkan dana sendiri untuk dikurbankan tahun ini. Tapi sayang, orang yang membutuhkan aliran kurban ternyata meningkat jauh lebih banyak. Bukan, Ini bukan prosesi sombong-sombongan, tidak perlu lah menuliskan "Kurban Hj Taufik" ditubuh lembu tersebut. "Kami tahu itu kurban dari orang-orang yang sanggup berkurban hari ini. Dan kami pun ingin memberikan seekor kambing untuk dikurbankan jika kami sanggup". Mereka tidak pernah ingin berebutan mendapatkan sepotong daging kurban tahun ini. Tapi demi merasakan "daging" untuk setahun sekali, sepertinya berdesak-desakan dengan segerumpulan orang-orang sudah menjadi resiko pribadi. "Dari pada harus beli mahal di pasar?".

Gotong royong, semua warga berkumpul dalam satu tempat yang ditentukan, kambing, dan lembu sudah stand by bahkan sebelum sholat id berlangsung. Semua orang-orang pilihan mulai menghabisi nyawa sang kurban, dan kelompok lainnya memotong-motong hingga sesuai dengan takaran pembagian. Semuanya sudah diatur. Kami, yang ditempatkan diluar gerbang masjid harus menunggu mereka benar-benar siap membagikan potongan untuk kami. "Walaupun begini, tolong jangan rendahkan derajat kami dihari yang bahagia ini".

Sunday, October 31, 2010

Sekolah

Teringat tiba-tiba aku akan sekolah yang sedari dulu aku banggakan. Duduk bersama teman-teman, bercerita hal-hal yang tidak menarik, hingga bermusuhan selama 2 menit, sebelum akhirnya bercanda riang lagi.

Seorang guru didepan sana menjelaskan dengan sepenuh energi yang dia punya kepada 40 siswa yang belum tentu memperhatikan apa yang dia ucapkan. Goresan-goresan kapur tulis putih memenuhi papan tulis hitam nya. Beberapa debu kapur berterbangan didepannya tak lagi di hiraukan. Entah apa yang ada dipikiran guru itu, sepertinya dia terjebak dalam bahasa kurikulum.

Aku, hmm, tidak pernah suka dengan perhitungan, tidak juga suka dengan bahasa, tidak lagi suka dengan seni, dan tidak pernah suka dengan olahraga. Aku hanya mengikuti irama kurikulum yang memaksaku untuk membaca, dan pura-pura tertarik akan mata pelajaran yang entah kapan aku gunakan itu.

Semuanya pada akhirnya terasa memberatkan pikirian, kami yang terbiasa dengan kehidupan lepas harus menguasai tumpukan buku hasil karangan para profesor-profesor berpendidikan sangat tinggi.

Kadang aku merasa itu tidak adil. Kami yang masih berpendidikan sangat rendah harus menerima 12 mata pelajaran yang disusun rapih oleh pengarang nya. Aku yakin, masing-masing pengarang itu bahkan tidak dapat menguasai mata pelajaran yang bukan karangannya. Tapi kami, anak yang masih berpendidikan minim harus menerima begitu banyaknya teori-teori para ilmuan.

Aku suka belajar, tapi aku tidak suka kurikulum. Aku hanya ingin mempelajari apa yang menjadi kebutuhanku, bukan sesuatu yang di inginkan kurikulum. Aku tidak perlu belajar fisika tingkat tinggi ketika aku ingin menjadi pemain bulu tangkis.

Friday, October 29, 2010

Nonton

Aku termenung menatap acara di box kecil 15 inci itu. Meratapi keadaan yang tidak mungkin aku ubah dengan kondisi kehidupanku seperti ini. 9 ditambah satu angka 0 yang sering aku tekan untuk memindahkan gambar bergoyang dilayarnya. Tapi sayang, mereka, para tuhan yang menggariskan kehidupan artis-artisnya terlalu sering mengajarkanku tentang suatu kehidupan yang salah.

Tidak, itu tidak salah menurut sebagian besar pecandu TV, itu merupakan hiburan tersendiri bagi mereka. Kondisi penayangan yang merusak pribadi mereka, cerita kecil atau panjang berbab-bab, bahkan mungkin lebih tua dari para pejuang kemerdekaan dulu.

Bukan, bukan lagi pendidikan yang bermoral yang ditayangkan. Semua yang aku lihat hanya kumpulan sampah yang dibanggakan oleh para penayangnya. Ini konspirasi, ini merupakan rekayasa para otak-otak udang pecinta Rupiah itu. Apapun dihalalkan? oh tentu tidak, mereka tidak menghalalkan segalanya, mereka hanya menghalalkan prosesi perusakan pribadi rakyat demi tumpukan kertas resmi itu.

Perasaan, ya, itu mungkin salah satu yang paling dibanggakan oleh penayang. Mereka berusaha menyakinkan penonton bahwa dunia ini benar-benar tidak adil. Dengan menunjukan ketidak adilan itu secara terang-terangan. Aku ingin bertanya pada hati mereka, hah... setidaknya jika mereka masih punya sedikit hati di balik jas berlogo stasiun TV itu. Masih kah mereka memikirkan hasil akhir dari perbuatan mereka?

Enggak lah, dosa-dosa dewasa yang diaplikasikan anak dibawah umur? itu bukan karena siaran TV dong. Itu semua karena kesalahan orang tuanya sendiri yang salah mendidik Anak.

Ya... aku tahu satu hal sekarang. Hal yang paling penting untuk mendidik anak adalah. Jangan biarkan mereka menikmati hiburan box pendidik kekejaman terbaik itu merajai pikiran mereka.

Seharusnya benda pencuci otak itu diberi label 'adult things', atau 'khusus orang dewasa'. Aku bosan, melihat kekerasan, pelecehan sexual, dan animasi dewasa yang di peranakkan itu terus mendidik anak bangsa menjadi pelacur.

Tuesday, October 26, 2010

Mengemis

Azan subuh yang sanggup membelah kebulan kabut yang meniduri rumah-rumah kecil kampung itu berhasil membangunkan aku dari bunga tidur malam itu. Kucoba mengucap syukur pada Allah atas apa yang diberikannya malam tadi. Hmm... ya, jutaan bahkan lebih kenikmatan dalam selimut hangat itu.

Aku terimajinasi akan banyaknya orang-orang yang terkapar parah dikaki lima toko-toko tertutup itu. Tidak ada yang benar-benar peduli, hanya pandangan kecut serta rasa jijik yang ada dihati mereka.

"Kami peduli pada mereka, tapi kami juga takut pada mereka" Sebuah argumen bodoh tapi memang benarlah yang mungkin keluar dari mulut kami, hmm... ya, kami yang beruntung punya kesempatan untuk menikmati rizky dinding yang melindungi kami dari badai malam, serta tatapan bulan.

Aku tidak ingin mereka berada disana, hanya saja itu adalah pilihan mereka. Aku hanya bisa mengeluarkan beberapa lembar dari kantong untuk membantu mereka makan nanti siang. Selebihnya? mereka yang tak ingin terlepas dari garis kemiskinan itu, rasa malas dan tak ingat malu lah yang membuat mereka mengijinkan anak, ibu, ayah, serta seluruh keluarganya berakhir di jembatan penyebrangan terminal itu.