Sunday, October 31, 2010

Sekolah

Teringat tiba-tiba aku akan sekolah yang sedari dulu aku banggakan. Duduk bersama teman-teman, bercerita hal-hal yang tidak menarik, hingga bermusuhan selama 2 menit, sebelum akhirnya bercanda riang lagi.

Seorang guru didepan sana menjelaskan dengan sepenuh energi yang dia punya kepada 40 siswa yang belum tentu memperhatikan apa yang dia ucapkan. Goresan-goresan kapur tulis putih memenuhi papan tulis hitam nya. Beberapa debu kapur berterbangan didepannya tak lagi di hiraukan. Entah apa yang ada dipikiran guru itu, sepertinya dia terjebak dalam bahasa kurikulum.

Aku, hmm, tidak pernah suka dengan perhitungan, tidak juga suka dengan bahasa, tidak lagi suka dengan seni, dan tidak pernah suka dengan olahraga. Aku hanya mengikuti irama kurikulum yang memaksaku untuk membaca, dan pura-pura tertarik akan mata pelajaran yang entah kapan aku gunakan itu.

Semuanya pada akhirnya terasa memberatkan pikirian, kami yang terbiasa dengan kehidupan lepas harus menguasai tumpukan buku hasil karangan para profesor-profesor berpendidikan sangat tinggi.

Kadang aku merasa itu tidak adil. Kami yang masih berpendidikan sangat rendah harus menerima 12 mata pelajaran yang disusun rapih oleh pengarang nya. Aku yakin, masing-masing pengarang itu bahkan tidak dapat menguasai mata pelajaran yang bukan karangannya. Tapi kami, anak yang masih berpendidikan minim harus menerima begitu banyaknya teori-teori para ilmuan.

Aku suka belajar, tapi aku tidak suka kurikulum. Aku hanya ingin mempelajari apa yang menjadi kebutuhanku, bukan sesuatu yang di inginkan kurikulum. Aku tidak perlu belajar fisika tingkat tinggi ketika aku ingin menjadi pemain bulu tangkis.

No comments:

Post a Comment